Apakah Peran Guru Masih Relevan di Era AI?
Di era ketika artificial intelligence (AI) mampu menjawab hampir semua pertanyaan, muncul satu hal menarik untuk direnungkan: Apakah peran guru masih relevan? Untuk memahami urgensinya, mari kita mulai dari pertanyaan yang lebih mendasar: Mengapa hanya sedikit orang yang benar-benar berhasil mencapai puncak di bidang atau industri mereka?
Terlepas dari faktor bakat dan kesempatan, ada satu benang merah yang menghubungkan para tokoh sukses: mereka semua memiliki guru.
Dalam dunia musik, keberhasilan Céline Dion tak bisa dilepaskan dari peran René Angélil—sosok yang bukan hanya menjadi manajer dan suaminya, tetapi juga mentor yang membentuk kariernya hingga menjadi bintang dunia. Dalam sejarah Islam, Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel, tumbuh dalam asuhan guru besar Syaikh Aq Syamsuddin, yang menanamkan visi, strategi, dan karakter kepemimpinan sejak muda. Di Indonesia, kita mengenal Taufik Hidayat—legenda bulu tangkis yang meraih emas Olimpiade berkat pelatihan intensif dari Mulyo Handoyo. Di bawah bimbingan sang pelatih, Taufik tidak hanya mengasah teknik, tetapi juga membangun mental juara yang tangguh.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa guru bukan sekadar penyampai ilmu. Mereka adalah penunjuk arah, pembentuk karakter, dan pendamping perjalanan hidup.
Guru: Lebih dari Sekadar Pengajar
Idealnya, peran pengarah hidup ini memang dijalankan oleh orang tua. Namun, dalam banyak kasus—terutama dalam hal keahlian khusus—kehadiran guru menjadi sangat penting. Untuk menjadi ahli di suatu bidang, seseorang memerlukan empat hal:
Lingkungan yang mendukung,
Latihan yang berulang,
Umpan balik yang tepat, dan
Latihan yang konsisten
Keempat hal ini hanya efektif jika dijalankan dengan pendamping yang memahami kebutuhan dan potensi pribadi sang murid. Di sinilah peran guru menjadi tak tergantikan—karena guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mengarahkan dan menumbuhkan.
AI Bukan Ancaman, Tetapi Alat
Jika kita memahami guru sebagai pemandu kehidupan, maka AI bukanlah ancaman bagi eksistensi mereka. AI memang menyimpan pengetahuan tak terbatas. Namun, ia belum mampu menjadi mentor yang memahami emosi, nilai, dan arah hidup seseorang.
AI bisa mengingat semua data, tetapi tidak bisa mengingat bagaimana rasanya gagal dan mencoba lagi.
Guru bisa.
Setiap orang tetap membutuhkan guru. Namun bagaimana jika seseorang tidak memiliki kesempatan untuk belajar langsung dari guru pribadi?
Di sinilah AI dapat menjadi alat bantu. Orang tua dan pendidik bisa memanfaatkan AI untuk menciptakan personalized learning—pembelajaran yang dirancang sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas unik setiap anak.
Namun perlu diingat, personalized learning tidak selalu harus melibatkan AI. Seorang guru pun dapat merancang pembelajaran yang personal, selama ia memahami karakter, kemampuan, dan tujuan hidup muridnya.
Menjadi Manusia yang Utuh
Pada akhirnya, belajar bukan hanya tentang memahami materi. Belajar adalah proses menjadi manusia yang utuh—dan dalam proses itu, kita semua membutuhkan pemandu.
Sudahkah kamu menemukan guru yang mengarahkan hidupmu?
Share It On: